Catatan Perjalanan Tamiyang Layang- Ampah (2/5)

Karena ingin sekali eksis dan menandai bahwa saya sedang berada di Kota Amuntai, maka saya niatkan untuk berfoto di icon Itik Alabio, meski sebenarnya sudah terlalu gelap. Alhasil, ketika tiba di lokasi, mood untuk berfoto saya hilang.

Pencahayaannya kurang menarik, dan tentu saja terlihat sangat buruk dalam frame foto. Kami urungkan niat berfoto di Itik dan hanya menyempatkan berfoto di Jembatan Paliwara saja. Saya tak punya lagi gambaran atau bayangan suasana jalanan yang bagaimana lagi setelah kami melewati Amuntai.

Malam semakin larut, hari semakin dingin, (klise banget ya) rasanya ingin sekali cepat tiba di lokasi. Haji Udin mengkonfirmasi sudah menghubungi Galapung (bukan nama sebenarnya, red) untuk bersiap menjemput kami di pinggir jalan raya guna membimbingnya ke rumah kakaknya yang tidak jauh dari wilayah Pasar Panas, Tamiyang Layang.

Damn, Check Point 2. Di sinilah kami harus beristirahat, beruntungnya rumah yang bernomorkan 001 RT 00 1 RW 001 penghuninya sedang tidak di rumah, kami menginap berlima dengan Adiknya Asmat, (setelah diketahui, nama pemilik rumah, yang tak lain adalah kakaknya Galapung).

Sejujurnya saya tak menyangka akan tidur senyaman ini, maksudnya di atas kasur lipat, (setidaknya bukan di matras atau sarung yang sudah dipersiapkan dalam ransel). Karena kami sudah mengantisipasi kalau-kalau kemungkinan terburuk istirahat di tengah perjalanan, semisal ada musibah bocor ban, atau kondisi alam terlalu mencekam.

Galapung, dengan segala kerendahan hatinya memberikan pelayan sebaik mungkin kepada para raja yang berkunjung ke wilayahnya, menjamunya dengan sekuat tenaga, menyediakan hamparan mahligai untuk peristirahatan terbaik, dan… lebay sekali perumpamaannya.

Ya, kami mendapati kamar mandi terbaik untuk membersihkan diri, melaksanakan kewajiban, membuat minuman panas dan beberapa snack penghantar tidur. Menuju perbaringan, Bungker berpesan kepada kami “Jangan ada yang menggaraknya, awas mun wani!,” katanya. Mau bagaimana lagi.

Pukul 05.30 Wita. Saya ingat sekali karena ketika bangun menyalakan pencahyaan pada arloji. Ya, pertama, saya pernah mengungkapkan kepada sebagian kawan bahwa saya lebih mudah mengingat apa-apa yang terlihat daripada apa-apa yang terdengar. Dan kedua, saya adalah tipe manusia yang tidak suka melepas arloji dalam keadaan apa pun, baik itu tidur, atau pun mandi.

Usai kewajiban subuh, langit masih gelap membiru, mungkin mendung. Baru kusadari jika dibandingkan dengan jam dinding di rumah ini, ada perbedaan 30 menit dari waktu Martapura, lebih lambat. Untuk kadar penentuan waktu, tapi tidak untuk pergerakan matahari dan waktu sholat.

Lauk pauk dan hidangan yang tadi malam kembali dipanaskan untuk kami santap. Sebenarnya porsi begini bukan untuk sarapan, melainkan makan siang. Ya, ini adalah salah satu moment foto makan bersama hilang, saya tak sempat memostingnya di instagram. Termasuk berfoto di depan plang nomor cantik, Nomor 001 RT 001 RW 001. Mau bagaimana lagi?

Screenshot_2016-07-19-20-01-12_com.instagram.android
Dari kiri ke kanan: Galapung, Haji Udin, Obol, saya, dan Bungker.

Sekitar pukul 08.00 Wita, setelah memanaskan mesin motor, packing keperluan prbadi, mengisi ulang botol air minum, (penghematan), dan berdoa, kami berangkat dari rumah Asmat dan juga bersama Galapung untuk mengantarkan kami ke rumah betang. Sebagian orang bilang, tugu di tengah jalan itu juga berarti perbatasan antara Kalsel dan Kalteng. Secara geografis, kami memang sudah memasuki wilayah Kalimantan Tengah.

Adalah Desa Pasar Panas, Kecamatan Banua Lima, Taniran, Kabupaten Barito Timor, Kalimantan Tengah. Betang Lewu Hante, demikian situs ini dinamakan. Bangunan yang terbuat dari kayu terkeras di dunia ini sebenarnya hanyalah replika alias tiruan dari keadaan yang sebenarnya sebagai tempat ritual bagi masyarakat Dayak Kalteng di pedalaman, bukan di tengah jalan raya yang kami singgahi dalam perjalanan ini.

Screenshot_2016-07-19-20-01-27_com.instagram.android
Di depan patung icon masyarakat Kalteng berpakaian Adat. Dari kiri ke kanan: Galapung, Obol, Saya, Bungker, dan Haji Udin.

Meski demikian, replika ini lengkap dengan segala aksesoris yang detail. Termasuk ukiran-ukiran di kayu jatinya. Beruntung saya sendiri sempat minta fotokan di sini dan memostingnya. Walau terlanjut diedit menjadi hitam putih dan kehilangan file aslinya.

aku_kalteng

Screenshot_2016-07-19-20-01-34_com.instagram.android

Beberapa bangunan berdiri di atas tanah sekitar 2 hektar. Ada panggung terbuka yang biasa dipakai untuk pertunjukan seni, penginapan, taman, serta tak lupa dua buah bangunan rumah betang yang salah satunya difungsikan sebagai museum.

Museum memang belum buka ketika kami sampai, dan ketika momentum berfoto bersama pula, kami sempat bertegur sapa dengan ibu cantik berpakaian PNS ketat yang bertugas menjaga museum tersebut, “Selamat Pagi ibu, permisi numpat foto!,” begitu.

Screenshot_2016-07-19-20-01-40_com.instagram.android

Telah disebutkan, meski tidak masuk ke dalam, saya memunyai insting museum tersebut memiliki beberapa koleksi peninggalan jaman dahulu seperti pistol peninggalan perang, piring malawen, guci kuno, samurai jepang dan senjata tradisional dayak lainnya seperti mandau dan tombak. (Untuk lebih detailnya kamu bisa searching sendiri di google. Sudah banyak, kok yang menulisnya, red).

Screenshot_2016-07-19-20-01-47_com.instagram.android

Dalam bahasa Dayak maanyan, Lewu Hante yang berarti Rumah Besar atau sering disebut Rumah Betang. Rumah betang adalah rumah adat khas Kalimantan yang terdapat di pelbagai penjuru Kalimantan dan dihuni oleh masyarakat Dayak terutama di daerah hulu sungai yang biasanya menjadi pusat pemukiman suku Dayak.

Setelah dirasa puas untuk berfoto, kami berangkat menuju kunjungan selanjutnya, finish point kami adalah Palangkaraya, berarti kami masih harus melalui Kota Ampah, Buntok, dan Timpah, sebelum melewati Sungai Kahayan Palangkaraya lewan Jembatannya, kita akan tiba pada bagian ini nanti.

Screenshot_2016-07-19-20-01-55_com.instagram.android

Semilir angin berhembus mendadak berhenti, matahari terik terlindung dedaunan nan rimbun. Aroma semesta berubah dengan bau-bauan yang tak bisa kuungkapkan lewat kata. Kami seperti melewati dinding tak kasat meta setelah tugu burung itu. Pemandangan di sisi kiri dan kanan jalan berubah. Hutan dan rumah-rumah desain bahari yang masih bertahan, kawanan kucing yang menjulurkan lidah dan kambing berkaki pendek bertebaran di sana sini. Sebenarnya ini bahasa Haji Udin yang saya pinjam untuk mendeskripsikan Anjing dan Babi. Jangan tersinggung!.

Sekitar 500 meter perjalanan santai 40Km/jam, kami singgah di rumah saudara sepupu perempuan cantik dan putih-nya Obol. Dan, Suaminya. Sekadar silaturahmi pasca idul fitri, obrolan maaf lahir bathin dan menanyakan keluarga satu dengan yang lainnya menjadi latar belakang kami bertiga untuk mengisap sebatang lisong. Setelah pamitan, kami berangkat menuju kota.

Tamiyang Layang, dengan segala kemajuan dan perkembangan kotanya, saya ingat betul, dulu sekali, mungkin 10 tahun yang lalu berkunjung ke rumah Acil alias adik dari ibu saya di kota ini dan sampai sekarang masih di sini. Saya tak berniatkan singgah karena pagi di hari kerja yang sudah barang tentu tidak akan ada orangnya di rumah. Kami berempat berhenti di kios yang masih tutup di seberang Dinas Pekerjaaan Umum Kota Tamiyang Layang. Saya mencoba menghubungi Mama Tity, (panggilan akrab, red) acil saya yang bermukim di kota ini. Hanya untuk bilang, “Ma, ulun permisi lewat di Tamiyang Layang dan kada singgah,” itu saja.

Well, nada sambung berakhir dan telepon tak diangkat, dengan prasangka posisi handphone sedang berada jauh dari pemiliknya. Mumpung jaringan internet sedang soleh-solehnya, di perkotaan, saya sempatkan memosting beberapa foto. Menjaga perhatian para follower, karena saya sudah meniatkan dari awal agar posisi saya diketahui publik, kita tak pernah tahu apa yang terjadi berikutnya.

Waktu menunjukan 09.10 di arloji. Waktu setempat sudah berbeda sekitar 1 jam alias Waktu Indonesia Barat. (Berikutnya saya hanya menggunakan patokan waktu di arloji saya tanpa penyesuaian lokasi). Perjalanan dilanjutkan setelah singgah di SPBU Tamiyang Layang, menerobos deretan pepohonan besar nan rimbun di sekeliling. Dengan aspal yang tidak bisa dikatakan lebar.

Bong demi Bong selalu rutin ditampilkan di kanan dan kiri jalan. Beberapa plang peringatan “Daerah Rawan Kecelakaan” serta “Awas Tikungan Tajam” tak habis-habisnya menghalangi pandangan. Sedikit saja oleng, kamu bisa bertabrakan. Tidak banyak transportasi yang berlalu-lalang membuat setiap pengemudi menambah kecepatan, suka tak suka kita juga harus ikut-ikutan. Saya sangat suka ketika memiringkan motor saat di tikungan, layaknya pembalap Moto GP yang sering saya tonton di kost-kostan kawan. Dan tetap menjaga timbangan serta irama berakhiran –an. Ya, kan?

Karena jalanan yang cukup lengang, kami menempuh jarak kurang lebih 70km dengan waktu 2 jam kurang sedikit. Buktinya kami sampai di Bundaran Kota Ampah sekitar pukul 11.00.

Kami sempat membatalkan niat tidak mampir di Kota Ampah karena mengejar ketertinggalan waktu. Namun kembali ke perencanaan di malam sebelum berangkat, kami akan mampir ke rumah Ali, sahabat yang juga saudara se-Kampus di Martapura yang sedang berada di rumah mertuanya di Kota Ampah, dia dari Samarinda, istrinya yang dari Kota Ampah. Perlu saya rincikan lagi?

“Masih banyak waktu untuk singgah. Bagaimana?,” ujar Bungker.

“Apakah ada jaminan kita akan sebentar saja?” balasku bertanya.

“Tidak ada. Aku jamin kita pasti ditahan!”

“Maksudmu?”

“Kita akan ditahan. Tak sekadar minuman, cemilan, bahkan mungkin segala suguhan makanan yang akan menahan kita. Bahkan kita mungkin disediakan tempat tidur untuk beristirahat.”

“Sebaik itu kah? Jangan lupa, Aku juga mengejar deadline sebelum pukul empat. Kita harus sudah sampai ke kota yang kuat jaringannya untuk aku membuka email. Aku sudah menyiapkan berita wajib yang kukirim sore ini untuk terbit besok,” tegasku dengan niat agar perjalanan terus berjalan dengan lancar.

Secara pribadi, saya tidak terlalu mengenal Ali. Tapi Bungker, Haji Udin, dan Obol sebagai angkatan setelahku di kampus lebih sering bercengkrama dan berbagi rasa bersama baik itu seputar urusan kampus dan kekeluargaan lainnya. Banyak cerita yang saya tidak bisa nimbrung terlalu banyak nantinya.

Saya tak menyangka jika peringatan Bungker sebelumnya menjadi kenyataan, saya juga menyayangkan karena saking nikmatnya santap siang ala desa, lupa memotonya, saya juga sangat menyayangkan… ah terlalu banyak sayang di Kota Ampah. Sayang… (bersambung)

 

 

 

 

 

7 comments

  1. Terima kasih atas ulasannya.
    saya ada pertanyaan taukah anda pada tahun berapa Museum Lewu Hante didirikan?
    sekian & terima kasih

Tinggalkan komentar